Alkisah
pada suatu hari di bulan November, setelah menyelesaikan tugas maha sakral di
salah perguruan tinggi negeri di Makassar, tiba-tiba saja saya mendapatkan
kabar gembira yang mencurigakan. Kabar gembira? Yup saat kuota saya lagi
sekarat-sekaratnya tiba-tiba muncul notifikasi-notifikasi
Direct Message dari beberapa sosmed saya yang menyebutkan kalau saya adalah
salah satu dari dua puluh orang yang lolos masuk dalam program persiapan lanjut
studi luar negeri yang diselenggarakan oleh ICMI selama tiga bulan. Mencurigakan?
Yup, saya tidak habis pikir saja kok bisa-bisanya saya lulus di antara
beratus-ratus orang yang menjadi saingan saya waktu itu. Suddenly, I wondered if I got a prank from my friends in sosmed. Demi
menghindari fitnah antar rekan sendiri merengeklah saya kepada salah seorang
teman waktu itu untuk menyedekahkan sebagian kuotanya alias tetring ke HP saya. Alhamdulillah
dikabulkan, lalu sayapun meluncur ke Instagram saya untuk mengklarifikasi kabar
tersebut kepada teman yang mengirimkan info dari ICMI Cerdas. Setelah teman
saya membenarkan info itu, saya pun masuk ke akun WA saya. Sangat jelas
terlihat betapa membludaknya isi pesan dari berbagai grup di WA saya setelah hiatus beberapa hari. Willy nilly saya harus olahraga skrolling pesan, lumayanlah buat latihan otot jari-jari
saya. Then BOOM! I found
a lot of ucapan selamat dari
teman-teman saya, at the end saya pun
mulai percaya kalau saya benar-benar lulus. Terpaksa barang-barang yang sudah
saya angkut pulang kampung akhirnya saya bawa lagi ke Makassar. For your information readers, ICMI adalah
sebuah lembaga organisasi cendikiawan muslim di Indonesia yang dibentuk pada
tahun 1990 di mana bapak B.J Habibie kala itu terpilih sebagai ketua ICMI yang
pertama. Nama ICMI ini sendiri merupakan singkatan dari Ikatan Cendikiawan
Muslim Indonesia. Sedangkan ICMI Cerdas (Collaborative,
Empowering, Religious, Developing, Accesible, Sustainable) adalah program
beasiswa yang diberikan dan dikelola oleh ICMI wilayah Sulsel. Well, so at the time I was officially
awardee ICMI Cerdas 2017-2018. Ehmmm anyway,
sampai hari ini saya masih malu kalau ada orang yang menyebut saya sebagai
anak ICMI. Bagaimana tidak, bebannya keberatan dude. Sudah cendikiawan, muslim terus ditambah dengan embel-embel
CERDAS dibelakangnya membuat saya agak canggung menjadi bagian dari beasiswa
ini. Saya merasa terlalu keren, Indeed! Tapi, terlepas dari semua beban itu I am
so grateful to be the one of the selected students in this programme. Berkumpul bersama mahluk-mahluk pilihan yang pastinya cendikiawan di mata para interviewers kala itu menjadi semacam
motivasi sekaligus doa untuk benar-benar menjadi seorang muslim yang berguna bagi
nusa dan bangsa. Amiiin...
Singkat
cerita, program pelatihan IELTS selama tiga bulan ini pun berakhir. Tidak
terasa. Sebenarnya terasa sih, mulai dari capeknya belajar di kelas dari jam
satu siang sampe setengah enam, capeknya kejar setoran tugas writing sama vocabulary tiap hari, belum lagi pusing liat teks reading IELTS yang tidak ada menarik-menariknya
di mata saya, dengar podcast yang speakernya kayak orang kumur-kumur,
kerja writing yang cara kerjanya
tidak segampang tulis diari, terus ada speaking
yang pertanyaan truly unpredictable. Saking
keponya bisa tanya soal hubungan cewek sama cowok. Kan kasihan yang jomblo. Intinya
I was not falling in love at the first
sight sama IELTS. However, seiring
berjalannya waktu saya sudah mulai terbiasa dengan yang namanya IELTS. Saya
menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Lohhhhh, what I want to say is about the challanges
in learning IELTS. But honestly, belajar IELTS itu bikin gemess sampai
bikin otak berdarah-darah. Seriously??? Kalau
tidak percaya coba saja belajar dan rasakan sensasinya but I do believe it’s so fun dude.
Anyway, selama tiga bulan itu saya tidak saja akrab dengan
IELTS. As aformentioned, pada program
ini ICMI telah memilih dua puluh putra-putri terbaik sulsel (Uhukkk) untuk
mengikuti pembinaan bahasa. Then you know
what, saya dipertemukan oleh berbagai macam spesies di kelas ini. Berdasarkan
jurusan serta nama yang tertera pada website, saya melihat rekan-rekan
seperjuangan saya untuk go abroad di
program ini adalah anak-anak yang luar biasa. Di minggu pertama terlihat jelas akward moment di antara kami. Wajarlah,
baru kenalan jadi jaim-jaim dulu. Tapi sejujurnya, saya yang berasal dari
jurusan bahasa Inggris totally minder dengan
mereka. Bayangkan saja saya sekelas dengan anak jurusan Matematika, Fisika,
PAUD, Pertanian, Bisnis, Statistik, Tafsir Hadis, Sosial Politik, Biologi,
Olahraga sampai jurusan Perikanan dan Kesehatan. Could you imagine, when you are from English department then meet with
the other students from different departments but have a good skill in English. Yeah,
they are super extraordinary students. Let
me tell you a piece of story of my freaking classmates.
Pertemuan-pertemuan
awal benar-benar sangat membosankan bagi saya yang terbiasa dengan kehebohan.
Bayangkan the class atmosphere was really
cold, belum lagi tambah dinginnya AC di kelas. Maka lengkaplah sudah
suasana yang mencekam itu. Saya yang orangnya banyak bicara mendadak menjadi
pendiam. At the time, I thought that mungkin
inilah rasanya berkumpul bersama orang-orang intelek pilihan. Saya mencoba
untuk mengambil sisi positif dari peristiwa yang langkah dalam hidup saya ini. Sejak
di bangku SMP sampai perkuliahan saya terus bertemu dengan orang-orang yang
otaknya sedikit geser alias heboh bin ababil. Secerdas-cerdasnya teman kelas
yang saya temui selama ini pasti tingkahnya selalu hancur. Finally, the time has come. Tuhan mempertemukan saya dengan orang-orang
yang berada di jalan yang benar kali ini yang itu artinya saya bisa menjadi
orang yang intelek juga. Belum selesai saya memanjatkan rasa puji syukur saya
atas karunia Tuhan yang begitu dahsyat, tiba-tiba saja negara api menyerang. Entah
ada angin apa yang membuat suasana akademis berubah menjadi taman bermain. Saya gagal jadi intelek betulan hahaha. But anyway, I am proud to have you guys (I
am totally serioussss!).
Banyak hal selain IELTS yang saya temukan dan pelajari
selama berjuang di program beasiswa ini. Selain berasal dari almamater yang
berbeda-beda, kami juga berasal dari latar belakang kehidupan keluarga yang
berbeda-beda. Tapi tetap saja kita punya mimpi yang sama. Mimpi yang sering didengung-dengungkan dari atas lantai tiga di salah satu perumahan di Mangasa Permai. Rooftop, sebutan
basecamp yang sering saya tempati untuk numpang makan dan sejenisnya telah menjadi
saksi betapa banyaknya hari dan malam yang saya lalui bersama gerombolang scholarship hunters nan sakik ini. Rooftop ini sudah menjadi semacam tempat
mengistirahatkan raga yang sudah lelah scoring
dengan nilai pas-pasan. Pukul 05.30 PM sudah menjadi alarm alami untuk
bergegas nongkrong di loteng andalan. Lantai tiga kos-kosan sudah bagaikan
tempat yang didesain khusus para anak ICMI batch II untuk membuang lelah lewat
tidur dan mengisi perut lewat makan. Sebut saja kami pasukan nasi 5000 yang
hobby kelaparan setiap selesai scoring. Ketika
kantongan kresekberisi makanan sudah tergelatak di tengah-tengah rooftop maka sudah saatnya pada posisi lesehan masing-masing. Karet
merah untuk nasi putih, karet kuning untuk nasi kuning dan kemudian acara lunch plus dinner pun digelar. Kalau lagi tidak kere, kantongan makanan yang biasanya hitam pekat berubah dengan kantongan putih dengan logo ayam andalannya. Saya mau sebut merek tapi bukan sponsor beasiswa kita. Senja yang merona kadang tanpa sungkan muncul
begitu saja dari balik pohon palem besar pas sebelah kiri rooftop. Bisa dibilang mereka semacam landmark dari ICMI Batch II. Saya sampai sudah tidak bisa
menghitung berapa banyak sunset yang saya tangkap setiap si sunset nongol.
Then, Finally I realized, Kamis 15 Maret 2018 adalah hari yang menggenapkan tiga
bulan pertemuan kami. Tidak terasa. Lagi-lagi sebuah pertemuan menemukan
perpisahannya. Tak ada lagi pasukan bakso keju di jam-jam istirahat belajar.
Tak ada lagi penghuni rooftop yang
bikin gaduh seantero kos-kosan di Mangasa Permai gara-gara bahas beasiswa,
cita-cita ke luar negeri sampai bahas kegalauan berjamaah tentang score yang itu-itu saja. And stttttssss bahas anaknya orang yang
selalu bikin panas telingaku hahaha.
Saya
percaya Tuhan mempertemukan kita bukan dengan tanpa tujuan. Saya juga percaya
rasa lelah dan penat selama ditempa oleh yang namanya IELTS akan terbayar lunas,
tuntas di kemudian hari. Ala-ala closing speech saya cuma mau bilang, terima kasih sudah menjadi teman tiga bulan yang
menyenangkan, mengharukan, menjengkelkan tapi tetap membanggakan. Nice to meet you! See you on the different (Roof)TOPs
guys.
0 comments:
Post a Comment