Hai readers! Berjumpa
lagi dengan tausyiah Ramadan di blog saya. Jika kemarin saya mengajak kalian
untuk membuang-buang waktu untuk membaca kisah nostalgia saya di masa kecil
maka kali ini ijinkanlah saya membuang-buang waktu kalian lagi untuk membaca
cerita mudik saya selama menjadi seorang mahasiswa yang tidak maha-maha amat.
So, saya
merupakan anak rantau dari sebuah kabupaten kecil di Sulawesi Selatan yang
mengadu otak, mental dan fisik di kota Makassar demi mengenakan dua buah toga di
kepala saya. Ya, kurang lebih sekitar 8 tahun saya mengenyam pendidikan di kota
besar untuk mendapatkan gelar S1 dan S2 saya jadi yah sudah terbiasa dengan
drama-drama mudik ala anak rantau setiap tahunnya. Setiap tahun bagi saya
selaku anak rantau adalah momen yang selalu membuat resah dan gelisah. Bagaimana
tidak kami yang jauh dari kampung halaman selalu harap-harap cemas jika ada
pemberitahuan kuliah dadakan di jadwal kritis menuju H-1 lebaran. Belum lagi
kalau dosennya super perfect yang sukaaaa sekaliii masuk mengajar. Kalau sudah
dapat kejadian yang seperti ini nih, anak-anak asli Makassar di kelas langsung
tertawa bahagia melihat penderitaan kami. Maka terpujilah para dosen yang hanya
memberikan tugas dibandingkan masuk kelas demi melihat kami segera pulang
kampung kala itu. God blesses you Pak, Buk.
Selain drama bersama
Bapak dan Ibu dosen yang seperti itu, saya juga sering dapat drama transportasi
untuk pulang kampung. Kalian tahu kan anak kampung yang sekolah di kota besar
bukan hanya saya saja. Otomatis kendaraan pulang kampung juga terbatas apalagi
kalau benar-benar sudah mepet sama hari lebaran soalnya beberapa bapak supir
lebih pilih stay di rumah daripada nyupir. Mungkin bapak-bapak supir ini
adalah suami sholeh sayang istri yang mungkin sedang bantu-bantu istri di rumah
buat masak ketupat sama opor. Beruntungnya, tidak semua supir demikian
pemirsahh! Ada juga yang setia mencari nafkah menjelang hari lebaran bahkan di
saat hari lebaran tapi ya itu cuma be-be-ra-pa saja. Singkat cerita ketika kami
para anak rantau kalang kabut cari kendaraan buat pulang maka pada akhirnya
kami pun rela disusun kayak ikan di pasar di dalam satu mobil. Tidak apa-apa
main sempit-sempitan yang jelas bisa pulang ngumpul sama krluarga. Itu salah satu motto saya pada zaman
dahulu kala. Beruntungnya anak-anak kuliah di kampung saya sekarang sudah lebih
enak menikmati momen mudiknya. Jalan sudah bagus. Mereka kebanyakan sudah punya motor, sekarang
kendaraan untuk pulang kampung pun sudah ada jadwal malamnya. It’s really really
different with my era.
Ngomong-ngomong
kalau lihat anak-anak mudik di bulan Ramadan ini saya tiba-tiba rindu dengan
drama mudik saya beberapa tahun silam. I know it was annoying but that’s why
drama mudik era saya so memorable.
No comments