Let’s Cry Together, M


Kamis, 16 Mei 2024

 

Memulai intro di tulisan kali ini rasanya cukup membingungkan. Entah kapan saya terakhir menulis review hidup di blog ini. Duluuuu, saya gemar sekali mengekspresikan berbagai hal yang saya anggap berkesan. Entah itu setelah habis nonton film, ikutan event, atau apapun kegiatan yang saya temui dan lakukan dan punya nilai sentimental dan emosional tersendiri. Then, tonight I felt this vibe again!

 

Pukul 13.30 WITA agenda rapat di “calon tempat kerja baru” saya telah dimulai. Ini bukanlah rapat pertama. Rangkaian rapat untuk menyambut kami, sang calon anggota baru sudah dilaksanakan selama beberapa kali pertemuan. Kepastian untuk memulai hidup baru di tempat ini semakin jelas dan semakin dekat. Switching career era=switching problem era. It’s okay, I know it so well btw. Lagi pula saya memang sudah siap untuk semua resiko yang akan saya hadapi di dunia baru ini. Sayangnya, saya belum siap untuk benar-benar meninggalkan siklus hidup saya sebelumnya.

 

Rapat usai tepat adzan sholat Ashar berkumandang. Saatnya meluncur ke salah satu bioskop untuk mencetak tiket yang sudah saya pesan secara daring. Tidak cukup lama, satu lembar tiket untuk tiga seat sudah tercetak. Hari ini, saya dan teman yang sudah lama tak bersua memutuskan reuni jalur nangis-nangis dengan menonton film How to Make Millions Before Grandma Dies.

 

Film ini sudah tayang perdana pada 15 Mei kemarin. Saya mencoba untuk menghindari spoiler dan review dari berbagai sosmed. Saya sudah tahu betul, film Thailand yang satu ini sudah banyak dinantikan karena sudah direview oleh akun-akun penikmat film, termasuk dari para artis dan influencer yang telah menyaksikan premier shownya. Memilih film ini tentu bukan tanpa alasan. Pertama, saya memang mau nangis sepuasnya. Kapan lagi bisa nangis berjamaah satu studio tanpa perlu sungkan mengeluarkan isak dan sesak. Kedua, ini film Thailand, sudah pasti soal genre slice of life dan sedih-sedih gini film Thailand selalu total. Bikin iklan beberapa detik dan menit saja bikin heart warming apalagi movie. Ketiga, judul dan poster filmnya bikin kangen sama keluarga. Perantau squad pasti akan sangat relate dengan film ini 🥹

 

Masih ada sekitar satu setengah jam sebelum masuk studio. Waktu yang cukup lama untuk ngemil, ngobrol dan ngakak dulu dengan kedua teman saya. Kami bertiga paham betul jika sad moment akan segera tiba. Beruntung, salah satu dari kami masih ingat untuk membeli tisu. Semacam pelampung katanya biar di studio gak banjir-banjir amat. Good choice I say.


 

How to Make Millions Before Grandma Dies dibuka dengan adegan seorang pria yang sudah beranjak dewasa tengah sibuk bermain game. Seperti dugaan, pria tengil yang suka game ini adalah M yang menjadi pemain utama dalam film. Film ini sendiri berkisah tentang M yang berambisi memiliki warisan dari Amah, sang nenek. Melihat sepupu perempuannya berhasil mendapatkan warisan rumah dari kakeknya, M pun berniat mengikuti jejak sepupunya dengan menjadi seorang caregiver untuk Amah. Berbagai cara dilakukan M untuk menarik simpati Amah. M berambisi mengalahkan paman-pamannya yang selalu nomor satu di hati Amah.

 

Di menit-menit awal film, nuansa keluarga rasanya masih biasa saja. Hampir mirip dengan kehidupan keluarga kalangan menengah pada umumnya. Namun, entah kenapa alur yang biasa ini diam-diam menghanyutkan. Sampai-sampai mata basah sendiri melihat setiap adegan Amah dan M. Belum lagi dari dialog-dialognya yang halus tapi tajem banget sampai menusuk ke dada. Di durasi setengah jam film ini, satu studio penuh dengan hahaha cekikikan eh habis itu malah paduan suara huhuhu sesegukan 😭. Saya sudah tidak mengerti lagi dengan raut wajah saya hingga film berakhir. Bengek dan bengkak lebih tepat sepertinya. Rasanya seperti habis pengakuan dosa berjamaah satu studio. Beruntung, ada tisu yang jadi pelampiasan sesak ini. Thankyou Iin sudah inisiatif membawa tisu sedari awal. It’s really helpful. Padahal, saya sudah menyiapkan opsi jilbab sebagai tameng kalau-kalau memang jaket saya tidak muat menampung banjir air mata.



Review How to Make Millions Before Grandma Dies


Untuk kali pertama dalam hidup, saya menyaksikan orang-orang enggan beranjak dari kursinya masing-masing saat film selesai. Bahkan, saat post credit pun, satu studio masih duduk menatap layar besar yang sudah berwarna hitam dengan jejeran nama-nama yang turut serta menghidupkan film luar biasa di tahun ini. Para penonton seakan-akan belum bisa lepas dari kehidupan M dan Amah di semasa hidupnya.

 

Untuk seorang perantau sekaligus caregiver seperti saya. Menyaksikan film How to Make Millions Before Grandma Dies benar-benar menguras energi dan air mata. Rutinitas M merawat dan menemani Amah berjualan congee adalah adegan-adegan yang sangat heart warming. Bahkan untuk scene yang sekedar mengobrol santai, bermain kartu, dan jalan bersama Amah saja sudah memancing untuk segera sesegukan lagi.

 

Ada banyak adegan yang begitu menguras air mata. Tapi yang paling bikin sakit bagi saya adalah saat M menjemput Amah di panti jompo. Dengan mata yang berkaca-kaca, M menatap Amah yang sedang terbaring sambil memperbaiki kancing baju Amah yang berantakan. Amah hanya membalas M sambil bercanda. Kata Amah, dia sengaja menampakkan keseksiannya di depan M, cucu yang selalu setia bersamanya. Adegan ini sudah bikin sesak, lalu semakin tumpah saat M menimpali ucapan Amah sambil mengenggam tangannya.

 

Aku akan membuatkan congee untuk Amah, mari kita pulang ke rumah 🤌😭

 

Gemuruh isak tangis satu studio semakin menjadi-jadi saat di menit-menit akhir film. Amah sudah di dalam peti mati dan siap untuk dibawa ke peristirahatan terakhirnya. M menjadi petunjuk arah bagi Amah selama perjalanan menuju pemakaman. Ketukan pertama dari M pada peti mati Amah menandakan mobil pengantar jenazah Amah akan segera berangkat.


Tok tok….”Amah kita akan segera berangkat”

Tok tok….”Amah kita sudah berada di penjualan congee”

Tok tok….”Amah kita sudah melewati jembatan”

Tok tok….”Amah kita sudah sampai di rumah yang aku belikan untukmu”

 

Scene di atas mobil ini menjadi penutup yang terlalu menyayat hati. Satu ketukan M untuk Amah membuat linangan air mata semakin deras. Siapa sangka jika niat menjadi nomor satu di hati Amah demi mendapatkan warisan malah membuat M mencurahkan segala kasih sayangnya yang tak ternilai untuk Amah hingga akhir hayatnya.

Kata M “Amah, kau selalu nomor satu di hatiku”. 

 

Film sudah berakhir. Post kredit pun sudah usai. Melangkah keluar bioskop rasanya berat sekali. Kepala terasa pening, mata sudah memerah, bentuk muka tak usah ditanya lagi. Perjalanan ke tempat parkir pun saya masih menangisi M dan juga Amah. Tak sampai di situ, di perjalanan pulang, wajah M dan juga Amah saat berada di kereta api dan di rumah sakit terus muncul. Tepat di jalan yang sunyi, air mata saya pun saya tumpahkan sejadi-jadinya. Tak ada lagi waktu untuk menahan isak. Persetan dengan pengendara yang mendengar suara cempreng sesegukan saya. Malam itu, rasanya saya ingin langsung pulang ke kampung halaman. Saya rindu wajah dan suara ibu 😭

 

Menonton film How to Make Millions Before Grandma Dies sepertinya keputusan yang kurang tepat untuk calon anak rantau sekaligus caregiver macam saya. However, I never ever regret to watch it. M dan Amah membuat banyak orang termasuk saya sendiri semakin sadar jika waktu adalah hal yang sangat berharga. A bunch of thanks for Pat Boonnitipat yang sudah membuat karya super heart warming ini. Terima kasih sudah menghadirkan sosok M dan Amah dalam film ini. Film ini benar-benar sudah menjadi film nomor satu di hati para penonton tanah air.


No comments