Review Buku: Yang Telah Lama Pergi (Tere Liye)

 

Yang Telah Lama Pergi Tere Liye

 

Judul Buku: Yang Telah Lama Pergi

Penulis: Tere Liye

Penerbit: Sabakgrip

Tahun Terbit: 2023

ISBN: 9786238829606

Jumlah Halaman: 444

 

Hello Readers! Welcome back again di sesi review buku dalam blog saya. Well, lagi-lagi saya masih stuck untuk mengulas buku di satu penulis dan satu penerbit. Siapa lagi kalau bukan the one and only, Tere Liye. Dan kali ini, Tere Liye kembali menghadirkan novel terbarunya dengan judul Yang Telah Lama Pergi. 

 

Sambil menunggu lanjutan Serial Aksi dan Serial Bumi dari Tere Liye, novel ini bisa jadi selingan buat kalian baca menuju pengujung tahun 2023.  Daripada intro-nya kelamaan, yuk langsung saja kita review!

 

Blurb

 

Sakit hati ….

Kebencian ….

Dendam kesumat ….

Tangis dibalas tangis ….

Luka dibalas luka ….

 

Review 

 

Setahun lalu di jantung Kota Baghdad yang ramai, tepatnya di tahun 1270 Masehi. Di sebuah rumah keluarga terpandang Kota Baghdad, seorang kartografer atau ahli pembuat peta bernama Mas’ud sedang bersusah payah membujuk sang istri yang tengah mengandung anak pertama mereka. Malam itu, Mas’ud telah membulatkan tekad untuk berangkat menyelesaikan peta Pulau Swarnadwipa (Sumatera) yang merupakan wasiat terakhir sang ayah sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. 

 

Sekuat apapun istri Mas’ud melarangnya pergi, Mas’ud sudah tetap pada pendiriannya. Terlebih, hari itu adalah bulan-bulan terbaik untuk melakukan perjalanan. Kala itu, Mas’ud adalah ahli kartografer terbaik di dunia. Dan demi meneruskan jejak sang kakek dan ayahnya, Mas’ud siap membelah lautan dalam waktu lama untuk membuat peta Pulau Swarnadwipa yang paling detail. Peta yang akan dipakai ribuan tahun kemudian. 

 

Persis saat cahaya matahari membasuh pucuk-pucuk menara bangunan Kota Baghdad, Mas’ud pun berangkat. Semuanya berjalan sesuai kehendaknya. Semua logistik dan peralatan membuat peta telah ia naikkan ke atas kapal. Perjalanan Mas’ud seharusnya mulus tanpa kendala. Cukup deburan ombak dan goncangan badai laut yang menjadi lawannya. Namun, halangan yang ia hadapi ternyata lebih buruk dari badai di lautan.  Saat tiba di pangkal Selat Malaka, kapal yang ditumpanginya disergap oleh perompak. Semua barang yang dimiliki penumpang kapal dijarah oleh sang perompak. Termasuk barang logistik, peta dan alat-alat penting untuk menggambar peta milik Mas’ud. 

 

Kabar baiknya, Mas’ud melihat kapal-kapal perompak berlabuh di pelabuhan kecil di gerbang Selat Malaka. Demi mendapatkan kembali barang berharga miliknya, Mas’ud nekat untuk naik ke salah satu kapal paling besar milik perompak tersebut. Dan kabar buruknya, ia malah tertangkap basah di sarang perompak. 

 

Kisah selanjutnya sudah bisa ditebak. Karena dianggap sebagai mata-mata, Mas’ud akhirnya dikurung dan dipukuli di atas kapal oleh para perompak. Detik-detik menuju eksekusi sangatlah menegangkan. Mas’ud tak bisa membuktikan jika dirinya adalah pembuat peta dan bukan seorang mata-mata. Para perompak tentu tak akan mudah percaya begitu saja. Beruntung, sebelum pedang itu menikam lehernya, seorang biksu menyelamatkannya. 

 

Biksu tersebut bernama Biksu Tsing. Sosok biksu di tengah para perompak memang terlihat dan terasa ganjil. Perjalanan panjangnya mencari kitab suci dan menerjemahkan sutra di berbagai tempat di dunia membuatnya bertemu dan ‘berteman’ dengan Remasut sang Raja Perompak. Tak heran jika Biksu Tsing disegani dan dihormati di kalangan para perompak. Bahkan, Biksu Tsing dan Raja Perompak juga memiliki visi dan misi yang sama, mereka memiliki dendam yang sama pada para pejabat dan orang-orang di lingkungan Kerajaan Sriwijaya.

 

Ratusan bahkan ribuan perjalanan yang dilalui oleh Biksu Tsing membuatnya mengenal banyak orang, termasuk Mas’ud dan ayahnya belasan tahun silam. Pertemuan itu membekas bagi Biksu Tsing karena telah bertemu dengan keturunan pembuat peta terbaik di dunia. Biksu Tsing tak salah mengenali Mas’ud. Aksen, bahasa, hingga namanya, Al Mas’ud, Al Baghdadi, begitu jelas di ingatan Biksu Tsing sejak belasan tahun lalu. 

 

Pertemuan antara Mas’ud dengan Biksu Tsing bersama para perompak ternyata membawanya pada sebuah takdir yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. 

 

Ini mungkin kebetulan yang brilian…. Garis takdir yang memang harus terjadi…. Anak Muda, jika kamu hendak menyelesaikan peta itu dengan baik, maka satu-satunya kesempatan adalah dengan bepergian bersama bajak laut ini.

 

Selat Malaka sedang bergejolak. Kamu tidak bisa bepergian dengan aman lagi. Bahkan kapal-kapal armada kerajaan tidak aman, apalagi kapal dagang. Para perompak sedang memulai rencana besar.” Biksu Tsing bicara pelan, dengan intonasi lebih serius, “Sesuatu akan terjadi. Kerajaan besar akan runtuh. Kemunafikan, kegelapan, akan dibersihkan. Keharmonisan sejati akan lahir kembali. Bertunas, merekah subur.

 

Mas’ud masih belum mencerna dengan baik semua ucapan dari Biksu Tsing. Bagaimana mungkin ia harus melanjutkan perjalanannya membuat peta Pulau Swarnadwipa bersama para perompak sekaligus sang Raja Perompak, Remasut. 

 

Di sisi lain, Mas’ud tak berani melakukan perjalanan bersama para perompak, akan tetapi perkataan dari Biksu Tsing tak bisa ia hiraukan begitu saja. Terlebih Biksu Tsing telah mengirimkan surat kepada Remasut, Raja Perompak untuk menerima Mas’ud menjadi bagian dari perjalanan sakralnya menuju Pulau Swarnadwipa, lebih tepatnya menuju Kerajaan Sriwijaya. 

 

Siapa yang menyangka jika titik awal perjalanannya membuat peta Swarnadwipa akan serumit dan semenegangkan itu. Setelah berpisah dengan Biksu Tsing, Mas’ud pun berangkat menuju Pulau Terapung, markas Raja Perompak. Di tempat inilah ia bertemu dengan Remasut, sang Raja Perompak sekaligus otak utama dalam perlawanan melawan Kerajaan Sriwijaya.

 

Hari demi hari, minggu demi minggu, bahkan bulan demi bulan ia habiskan bersama para perompak. Mengarungi beragam jenis medan di lautan, pindah dari satu kapal ke kapal lainnya, bertemu dengan banyak sosok tak terduga, hingga ikut bertarung bersama kalangan perompak. 

 

Tak ada yang menyangka jika seorang ahli peta dari Baghdad berhasil menjadi pencetus ide dan strategi perang di tengah lautan luas. Pengetahuannya tentang selat, palung, patahan, pulau, tanah hingga cuaca membuat Mas’ud diandalkan oleh Raja Perompak dan para Hulubalang. 

 

Pertarungan demi pertarungan melawan berbagai armada kapal Kerajaan Sriwijaya terus meletus sepanjang perjalanan menuju Palembang. Misi meruntuhkan Kerajaan Sriwijaya harus tercapai. Dendam puluhan tahun silam harus ditunaikan. Begitu pula Mas’ud, ia wajib menyelesaikan wasiat terakhir sang ayah, membuat peta pulau Swarnadwipa yang paling detail sekalipun harus bertualang dan bertarung bersama para perompak melawan Kerajaan Sriwijaya hingga titik darah penghabisan.

 

My Impression

 

Membaca novel Yang Telah Lama Pergi menghadirkan vibes laga yang berbeda dari buku serial aksi karya Tere Liye sebelumnya. Melihat cover buku ini saja sudah membuat saya berimajinasi tentang perjalanan panjang mengarungi lautan. Di awal-awal bab, saya kira kisah di dalam novel ini akan memiliki nuansa yang sama dengan novel Rindu Tere Liye. Terlebih, latar belakang cerita diawali dari kota Baghdad di Timur Tengah. Dan yang tak terduga, halaman demi halamannya ternyata membawa saya kepada kisah para perompak hingga Pulau Sumatera.

 

Untuk penggemar cerita-cerita perompak, bajak laut atau mungkin pecinta One Piece sepertinya kalian akan relate dengan novel yang satu ini. Tokoh-tokoh yang diciptakan Tere Liye dalam novel ini benar-benar punya kisah yang bikin merinding. Blurb novel ini sepertinya sudah memberikan gambaran yang cukup jelas tentang seperti apa cerita di dalamnya. 

 

Membaca novel ini juga sampai bikin isi kepala saya berimajinasi kayak nonton drakor kolosal. Cukup banyak plot twist dan cerita yang bikin deg-degan di dalam novel. Ide dan strategi perang di tengah lautan menghadirkan plot yang super epic. Ide Mas’ud dan strategi perang dari Remasut, Pembayun, dan para Hulubalang selalu out of the boxbahkan saat di keadaan genting sekalipun.    

 

Buat yang suka sama drama kolosal atau drama tema kerajaan yang penuh dengan aksi laga serta intrik kekuasaan, novel Yang Telah Lama Pergi karya Tere Liye ini bisa jadi rekomendasi yang cocok buat kalian. Mumpung lagi bulan Agustus dan nuansa kemerdekaan, kisah heroic di novel ini sepertinya bisa mengibur dan menginspirasi kalian. 

 

Buat yang belum baca dan berencana baca, sini saya kasih spoiler soal villain-nya. Langsung aja buka halaman 434. Thanks me later hehe.

 

2 comments

  1. Ini novel terbaru Tere Liye ya kak ? Aku udah lama banget nggak baca karya Tere Liye. Tapi, emang cara beliau bercerita tuh sangat menginspirasi ya kak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya kak bener, ini baru terbit bulan Juli ini.

      Tere Liye emang gak pernah gagal sih kalau buat cerita. Sebagus dan seseru itu ✨

      Delete